Senin, 02 Agustus 2010

LANTAI DANSA KEJI

~ Semburat Jingga ~


Asoy! Melodi anyir ala instrumentalia demokrasi tertumpah ruah di lantai dansa negeri. Auranya tak bisa dipungkiri, melejitkan birahi ketamakan yang telah bertunas dari bibit haus kekuasaan. Tataplah mata penikmat dansa itu. Semua merah dan kelam serupa serigala kutub yang terhibernasi oleh salju dan kini butuh makanan mengenyangkan. Tak perlu diberi umpan, mereka justru akan mendatangi segala yang bau uang. Menjilat-jilat kaki penuh nanah pemodal yang punya kuasa besar. Membungkuk-bungkuk mencampak harga diri yang pada rakyat mereka serukan lantang.



Oh…lantai dansa itu memang benar ibarat nektar pengundang lebah-lebah yang giat bekerja. Mereka derma hidupnya pada Sang Ratu, tanpa menilik bahwa ternyata Ratu lebah tak mentransformasi nektar menjadi madu yang menyembuhkan namun menjaga kelangsungan peradaban bengis lagi menyesatkan. Kaum-kaum penghembus ideologi beda haluan, mengintip-ngintip dari lubang kaca. Hatinya berdesir antara harus menggenggam erat ideologinya atau ikut tenggelam dalam gegap gempita lantai dansa. Aha! Insting hewan yang berbicara dan menjelma menjadi kaisar merah bertanduk dua di hatinya. Mereka masuk, tetap mengenakan pakaian terdahulunya namun akal dan hati telah mereka gadai pada satpam di dunia baru khas jungkir balir politisi lantai dansa demokrasi.



Si -yang tadinya- ideologis berkata bahwa dirinya tetap idealis, agamis, tak mungkin tervirus hedonis apalagi liberalis. Hihihihi…mereka tak tau saja bahwa lantai dansa tak memberi kesempatan bagi kesadaran untuk terjaga, ia akan membelai pedansa untuk lena dalam dunianya, lupa pada hakikat hidupnya. Yah itulah yang mengaku-ngaku ideologis tapi menaruh ragu pada ideologinya, mati kutu kau di sana! Maka tak perlu diprediksi lagi akan jadi apa para pedansa yang sedari awal memang berniat untuk lelap dalam dansa retorika dan tarian erotis kebijakan yang oportunis. Mereka makin mabuk dan hilang kesadaran, sakaw oleh kekuasaan dan pemenuhan kebutuhan yang sebenarnya semestapun tak akan cukup menggenapkan.



Tengoklah yang berseliweran di luar lantai dansa. Mereka menoleh penuh nestapa, mengusap-usap pelupuk mata yang belum kering dan tidak akan pernah kering dari tangisan karena usus mereka bersenandung tak kalah keras dengan musik lantai dansa. Dunia mereka kelam karena listrik melulu padam. Belum lagi yang menjerit karena bahan pokok harganya kian meroket, mirip seperti kasus pornoaksi Ariel Peterseli-Luna Peyek-Cut Jempol Kaki, yah serupa itulah, membumbung terus tak berujung pada ketegasan penyelesaian. Yang berkeliaran di luar namun juga fans berat demokrasi kini juga telah menggandrungi yang namanya kebebasan berekspresi. Mau pamer bahu, pamer dada, pamer-pamer yang lain pun tak masalah. Karena baginya, hidup dan mati mereka akan sama seperti hikayat berkiblat materi. Tak ada yang mencipta, tak perlu buku tanggungjawab. Hihihi…mengerikan!



Lantai dansa DEMOKRASI telah menyalak ganas pada alam bahwa cacat dan kehancuran merupakan penyakit bawaan. Sejarah mencatat tak satupun target dan janji yang terpenuhi. Jaminan kesetaraan dan hak asasi menjadi bualan hipokrit yang tergores jelas pada lembar undang-undang pelarangan jilbab dan cadar. Janji kesejahteraan dan keadilan sosial telah terlesak busuk dalam mulut-mulut si pengambil hukum dasar yang tangan kanannya memegang palu pemutus perkara sedang tangan kirinya menggenggam uang hasil suap. Kemerdekaan berucap dan kebebasan pribadi telah turut tergenang bersimbah air mata dengan ribuan wanita Gaza yang menjanda dan meraung memeluk tubuh berdarah sang suami dan anak-anaknya.



Lantai dansa DEMOKRASI KEJI, yang sungguh tak patut untuk punya EKSISTENSI!

Pasang awasmu TINGGI, karena penyeru kalimatNYA akan bumihanguskanmu MATI!!!