Rabu, 28 Juli 2010

TAKAR KAMI DENGAN IDEOLOGI !!

TAKAR KAMI DENGAN IDEOLOGI !!

_SEmburat jingga_

Kami adalah magnet bagi pemuja keayuan

Kami ibarat jaring lengket penangkap serangga bagi mata-mata yang haus pemuasan

Kami bunga yang mampu menarik hasrat sang kumbang

Kami merekah, indah, tak terelakkan

Kami oase bagi alam imaji yang meranggas akan dahaga

Kami adalah tumpahan lukisan yang menggelitik dalam buaian

Kami berwarna, segar, meski tanpa polesan.



Jalan yang kami titi merupakan jalan gersang yang ditinggalkan, penuh cacian, tak jarang penolakan

Dunia yang kami pilih merupakan paduan kesucian dan penyerahan yang telah dicemooh orang kebanyakan

Apa yang kami genggam bukan gelimang keindahan ataupun nafsu mempermak kecantikan

Dalam genggaman kami ada sebuah semesta tentang kebangkitan yang mendidih, berfluktuasi tiap saat, membimbing langkah kami pada gerak penuh pergolakan

Kami menggenggam bara revolusi perubahan pemikiran, aturan, tatanan.

Di pundak kami teronggok tugas suci mencipta generasi cerdas, generasi andalan, generasi yang tahan banting, generasi yang tunduk penuh pada Zat di mana jiwa mereka tergenggam, generasi yang bukan hanya kuat, tapi tangguh, liat, berani menantang zaman.



Lalu mengapa kau cukupkan pencarianmu pada figur yang terpahat pada penglihatan?

Lalu mengapa kau kedepankan nafsumu saat amanah berat itu kau titipkan?

Mengapa perasaan lebih kau dengar, padahal kau bisa berikan otoritas pada pemikiran untuk berwenang?



Bagi KALIAN yang menginginkan kerjasama dengan kami untuk mengarungi kehidupan, DENGARLAH…!!

TAKAR KAMI DENGAN IDEOLOGI !!

Rasio penilaian yang mencabut kemampuan melihatmu, dari lekuk tubuh yang kami simpan rapi di balik jilbab

Tolok ukur HAQ yang akan memenjara pendengaranmu dalam dunia tuli, jauh dari alunan renyah suara kami

Kaidah standar yang membimbing nuranimu mengembara dalam tataran aqli bukan nafsu, dalam kebijaksanaan yang matang bukan keinginan penaklukan yang hambar

Pedoman penilaian yang menjadikan ketaqwaan, daya juang, penghambaan, kecerdasan, ketangguhan memegang amanah menjadi poin-poin utama, jauh di atas apa-apa yang hanya mampu ditangkap oleh keterbatasan mata.



Kuminta, TAKAR KAMI DENGAN IDEOLOGI!

Dia Yang Kan Merona Pipinya

Dia Yang Kan Merona Pipinya


-Dirangkai Oleh Hanun Al Qisthi (Semburat Jingga)-

**Sebuah puisi cinta yang kupilin special tuk sahabatku terkasih yang ada di Pulau Dewata sana dan untuk semua pejuang islam yang ‘hampir’ mengikrarkan janji suci bersama belahan jiwa dariNYA.

Semoga Allah kan lapangkan dan mudahkan jalan terjal itu**

Duhai dia yang kan merona pipinya

Jika sebuah nama mendengung halus di udara

Degup jantung pun kan turut pucatkan wajahnya



Duhai dia yang kan merona pipinya

Saat proposal telah disodorkan mantap untuknya

Dan penungguan 24 bulan kan tak berarti apa-apa



Lalu apa mau kukata

Jika nama lain tak pernah mampu getarkan hatimu

Pun suguhan selain si dia tak bisa menambat matamu



Apa mau kukata

Bila ternyata gerak dakwahnya tlah mematri harapmu dalam bisu

Dan memasung mimpimu dalam doa



Duhai wanita yang kan merona pipinya

Jangan kau sembunyikan wajahmu yang memerah tomat itu

Biar sebuah kepastian kan yakinkanku

Bahwa memang dialah yang kau tunggu



Duhai wanita yang kan merona pipinya

Angkat wajahmu, tataplah lekat mataku

Izinkan aku tersenyum lebar atas kebahagiaanmu



Duhai dia yang memang telah merah pipinya (^^v)

Apalagi mau kau kata

Pun aku tak bisa berkata-kata

Jika memang dialah ketetapan untukmu dariNYA



Maka…

Sambutlah uluran tangannya

Bantu dia tuk meraihmu menjadi permaisurinya

Seperti ia pun tlah mengharap hal itu tak kalah besar dari harapmu



Jangan lagi kau biarkan aku menunggu

Lekas katakan kapan kan kulihat ikatan sakral itu

Maka shalawat kan memenuhi semesta

Dan aku yang turut berbahagia kan taburkan doa

Hingga suatu hari nanti (saat kau telah bersamanya) kau pun kan menyapaku manja, “Kapan seorang mujahid kan membuat pipimu menyemburat jingga??”

BISAKAH AKU PERCAYA DENGAN LELAKI SEPERTIMU??

BISAKAH AKU PERCAYA DENGAN LELAKI SEPERTIMU??

_Semburat Jingga_




Aku lelaki,

Tanganku terkepal,

Azzamku kental,

Dan inginku tak pernah mati.



Aku ini lelaki,

Menerobos masa depan,

Tak gentar dengan hardikan,

Tak mati dipukul kegagalan.



Lorong-lorong kelabu pernah kususuri,

Gulita kehidupan tak pernah aku maki,

Kesakitan demi kesakitan menambah liat tubuhku,mengokohkan rahangku,

hingga air mata hanyalah kisah pengantar tidur untukku.



Rentetan zaman telah kutapaki,

Naungan hujan sering kunikmati,

Tamparan, pengucilan, hujatan, bahkan pengkhianatan telah kureguk,

Tak ada khawatir meski hanya keyakinan yang aku punya di hati.



Senja menyapa usiaku kini,

Bait-bait perjuangan adalah ukiran lugas dari jejakku,

Tintanya tegas,

Goresannya keras,

Tak ada kelabu di situ.



Kekuatan perlahan menguap dari kakiku,

Rabun telah menyesap penglihatanku,

Sunyi telah merambah semestaku.

Satu yang aku yakin tak pernah terlucuti dari diriku,

SYAHID SAAT BERTATAP DENGAN RABBKU.



Tapi di mana gerangan penerima tongkat estafet dakwahku??

Ke mana gerangan penerus langkahku??

Haruskah kupercayakan amanah mulia ini pada laki-laki sepertimu??

Bisakah kutitipkan derap harapan suci ini pada generasi sepertimu??

BISAKAH??



Mengapa tak kulihat gelora yang membuncah sepertiku dulu?

Mengapa ketakutan dan kemalasan yang begitu nyata darimu?

Belum lagi sikapmu yang serba menyepelekan dan tak mau tau.

Sungguh, tak perlu lagi kau tambah dengan keenggananmu menuntut ilmu.



APA YANG BISA KUHARAPKAN DARIMU??

Padahal warisan dari generasiku padamu bukanlah kekayaan dan kesenangan yang menggelimang!

LIHAT!!! Kutinggalkan bara api yang akan semakin panas di ZAMANMU!

SIAPKAH KAU DENGAN ITU WAHAI LELAKI PENERUSKU???!!!



Kini airmataku menderas, bukan untuk kesakitan, bukan untuk pukulan, bukan karena tamparan.

Aku begitu khawatir tak akan ada lagi lelaki yang mampu AMANAH dengan perjuangan ini.

Aku takut bara itu akan PADAM di tanganmu!!



Maka kutanya sekali lagi padamu wahai lelaki penerus zamanku,

BISAKAH KUPERCAYAKAN PERJUANGAN INI PADA ORANG2 SEPERTIMU???!!

Kelembutan Yang Datang Terlambat Itu…

Kelembutan Yang Datang Terlambat Itu…


-Dirangkai Oleh Semburat Jingga-

*Saat himpitan sesal menelanku bulat-bulat*





Sahabat, pernahkan kau merasa sebal dengan seseorang yang sering menyodorkan tampang tak menyenangkan padamu? Atau pernahkah kau merasa bahwa ada seseorang yang hanya bersikap cuek dan menyebalkan khusus padamu saja? Kau merasa bahwa semua ucapan atau usul yang kau lontarkan, maka ia akan selalu punya bantahan untuk menolaknya. Dan setiap sikap yang kau lakukan selalu membuahkan senyuman mengejek pada bibirnya. Hmmm….coba ingat-ingat lagi… ^^



Saya ingin mengatakan bahwa saya PERNAH mengalami itu, dan saya MENYESALI mengapa dulu saya turut berlaku sama terhadapnya. Izinkan saya bercerita…



Saat duduk di bangku SMA, saya termasuk siswi yang aktif dan memiliki banyak teman. Cukup banyak kegiatan ekstrakurikuler yang saya ikuti, dan dari sana sahabat baru muncul menambah panjang persaudaraan saya. Memang tidak semua orang di sekolah mengenal saya dan dikenal oleh saya, tapi paling tidak mereka-mereka yang bukan sahabat saya akan tetap membalas senyuman jika saya melempar senyum, dan tentu saja menjawab sapa pendek saya. Tapi ada satu orang yang justru akan memanyunkan bibir saat saya tersenyum padanya dan mengerutkan dahi tanda tak suka saat saya menyapanya. ADA APA DENGANNYA? Itu saja dalam benak saya.



Lelaki semampai berkulit putih nan tampan itu bernama Ayyubi. Kami semua terbiasa memanggilnya Yubi. Dia memang sangat cuek, dingin dan hampir tidak punya teman. Tapi dia pasti -setidaknya merespon- sapaan dan senyum orang-orang selain saya. Awalnya saya tidak pernah sadar kalau sikapnya itu khusus pada saya, tapi setelah meneliti sekian minggu maka yakinlah saya. Apakah sahabat sekalian berpikir Yubi menyukai saya?? Bukan, samasekali bukan seperti itu! ^^



Lelaki yang menyukai seorang wanita mungkin akan bersikap jaim saat sang wanita bersama teman-temannya dan mendadak cari perhatian jika sang wanita tinggal sendiri saja. Tapi tidak bagi Yubi. Ia akan selalu mengeraskan rahang di manapun, kapanpun, dan dengan siapapun ia menemui saya. Parah! Awalnya mungkin saya bisa cuek dan menganggapnya tidak pernah ada, tapi pada akhirnya saya turut bersikap sama seperti dia.



“Perang Dingin” antara saya dan Yubi bukan rahasia umum lagi, semua teman bahkan beberapa guru mengetahui itu, maka seperti itulah saya dan Yubi mengisi hari-hari kami tiga tahun di SMA. Penuh intrik, kejahilan, bahkan makar. Sampai pernah di suatu jam pelajaran Bahasa Indonesia –waktu itu materinya Berbalas Pantun- kebetulan (lebih tepatnya lagi-lagi) teman-teman menunjuk Yubi dan saya untuk maju, maka jadilah ruang kelas itu ARENA TARUNG kami yang baru. Karena sang guru tak menerapkan tema berpantun, maka kami cari sendiri temanya, “Mengejek Kawan”, ya seperti itulah kira-kira…



“Beli buku tentang kapal pesiar

Jangan cari di di lapangan

Siapa itu berbadan legam lagi bundar

Eh ternyata Si Eresia dari Kebanaran”



Pantun itu yang Yubi lempar ke saya dengan cemoohan, buru-buru saya merangkai sebuah pantun ala kadarnya untuk balik menghina dia.



“Buah lengkeng dibikin manisan

Jangan dibikin sambil tidur

Badan kerempeng plus cengingisan

Itulah Yubi Si Ayam Sayur”



Yubi membalasnya lagi,



“Jalan-jalan ke Balikpapan

Sekalian beli sprei en kasur

Biar kerempeng en cengingisan

Yang penting ganteng gak kayak Eres Si Jamur”



Saya masih begitu mengingat tiga pantun kenangan ini. Saya memanggil ‘Ayam Sayur’ karena badannya yang tinggi membuat ia agak bungkuk dan terlihat seperti ayam sayur. Sedangkan ia memanggil saya ‘Si Jamur’ karena dulu saya jago Biologi dan hafal hampir semua nama latin tumbuhan terutama jamur. Jadilah ‘Ayam Sayur’ dan ‘Si Jamur’ yang kami gunakan sebagai panggilan ‘kesayangan’. Semua perselisihan benar-benar berlangsung sampai kami lulus di tahun 2005. Bahkan tak ada kata maaf dan sesal di perpisahan sekolah. Samasekali tak ada!



Bulan bergulir. Saya kuliah dan samasekali tak pernah mengingat Yubi. Bagi saya lelaki itu cuma masa lalu menjengkelkan yang tak pantas dicatat dalam memoar hati. Lalu sebuah jejaring pertemanan ‘FRIENDSTER’ mulai booming, dengan fasilitas Friend Finder saya menemukan teman masa kecil hingga SMA saya. Hingga suatu hari saya lihat ‘Ayyubi’ muncul pada daftar request saya. Hari keenam baru saya approve dia. Minggu pertama menjadi teman di Fs kami sama2 diam, baru di minggu kedua muncul message pertama darinya. Sebuah pesan yang mengawali sapaan hangat dan sesal yang sungguh terlambat.



Yubi menjelaskan bahwa dari dulu hidupnya tak karuan, tak pernah berotasi pada porosnya, sebagaimana kehidupan normal lain. Kehidupan rumah tangga orangtuanya tidak harmonis, mereka menjelma menjadi manusia -yang menurut Yubi- kasar dan hampir tanpa nurani. Ia akhirnya trauma dan fobia pada ‘kelembutan’. Baginya kelembutan itu hanya mimpi dan bukan sesuatu yang pasti. Sejak SMA ia jarang di rumah, kerjaannya hanya main dan nongkrong gak jelas (pantas prestasinya di SMA tidak bisa dibilang bagus), dan ekstasi plus alcohol pun sering di tenggaknya.



“Tapi Res, waktu dulu aku ngeliat kamu, aku heran. Kenapa kamu mau menyapa semua orang dengan sapaan manis dan repot2 tersenyum apalagi menanyakan keadaan mereka. Kamu itu aneh. Sumpah, kamu itu sangat aneh! Tapi waktu banyak teman yang menjadikan kamu sebagai tempat cerita, aku jadi punya keinginan untuk melakukan itu”



“Aku bukan orang yang mudah berteman dan ceria, Res. Aku tidak biasa berbasa-basi. Makanya aku kesulitan untuk mendekati kamu. Sikap dingin dan cuekku bukan karena aku benci, tapi AKU INGIN KAMU LEBIH MEMPERHATIKAN dan menjadi temanku. Tapi waktu kamu bersikap sama dan antipati, maka keinginan untuk bercerita dan terbuka itu hilang.”



Tanpa terasa airmataku ikut berlinang seiring dengan kedatangan surat kedua, ketiga, dan entah keberapa lagi darinya. Kau tau sahabat ? AKU MENYESAL. SANGAT MENYESAL. Kebersamaan itu tidak bisa diulang. Jadi baik aku maupun Yubi tidak mungkin merubah tiga tahun ‘menjengkelkan’ itu menjadi masa-masa yang menyenangkan.



Bolehkah aku berpesan padamu Sahabat? Coba sekarang perhatikan orang-orang di sekelilingmu, orang-orang yang menurutmu sangat membenci dan tidak menyukai segala perbuatan dan perkataanmu lalu kau sempat bersikap cuek dan sinis juga padanya. Jika kau menemukannya, coba hampiri dia. Coba sekejap saja tatap matanya, lalu tersenyumlah tulus untuknya. Siapa tau kau pun salah menilainya. Siapa tau ternyata dia membutuhkan senyum dan kelembutan darimu lebih dari siapapun.



Siapa tau hatinya merana dan butuh usapan manja dengan kata-kata bermakna. Siapa tau saat malam menjelang sebenarnya bahunya sering tersedu menanggung beban yang ia tak tau harus membaginya dengan siapa. Siapa tau matanya kerap basah menahan himpitan hidup. Siapa tau sikap dingin, kasar, dan menjengkelkannya merupakan bentuk manifestasinya untuk mendapat perhatianmu. Siapa tau sebenarnya di balik kata-kata kasar itu ia mengharapkan dakwahmu lebih dari kata mutiara manapun. Siapa tau, ya siapa tau….



Maka Sahabat, yang Allah sangat melimpahkan cintaNya padamu, jangan pernah berpaling dan membenci mereka-mereka yang tidak menyukai gerakmu. Karena mungkin jauh dalam hati, mereka memendam harap mengharu biru untuk mendekat padamu….



Jadi biarkan ia mendekat, tunggulah hingga sangat dekat. Lalu ambil tangannya, genggam kuat-kuat. Biarkan ikatan tulus merekah di antaranya, biarkan ia merasakan bahwa kau pun menyayanginya karena cintamu padaNya. Karena tidakkah kau ingat firmanNya :





فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ



“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(QS.Ali Imran[3]:159)









**Maka jika engkau bertanya apa itu kelembutan

Biarkan aku menjawab,

Bahwa ia adalah sama dengan mentari yang setia menebar jingga

Meski terkadang awan tebal menyelimutinya,

Dan gemuruh hujan angkuh melipatnya



Jika engkau bertanya apa itu cinta

Biarkan aku menjawab,

Bahwa ia adalah sama dengan mentari yang sebenarnya tak pernah berhenti menebar jingga

Kau melihatnya tenggelam

Kau mengira ia meninggalkanmu dalam malam

Tapi ia berputar dan tak pernah padam



Aku mencintaimu sahabat, karena Allah….**

KUTUNGGU HADIRMU DI TANAH INI

KUTUNGGU HADIRMU DI TANAH INI




~ Dirangkai oleh Semburat Jingga~

** penglihatan sendu tentang tanah terjajah, tanah sejuta luka, yang kini makin terhisap kebiadaban kaum terhina **





Matanya tidak berair. Pantang baginya menetaskan bulir2 dingin pada pipi. Dulu ia selalu melakukan itu, dulu sekali. Kini tidak lagi. Sejak ia tau bahwa apa yang bergelimang di depan matanya adalah sesuatu yang tak patut ditangisi tapi wajib diatasi, dengan tindakan, dengan daya juang, dengan ketundukan yang tak boleh padam.



Nanar pemuda itu melihat letusan hitam yang mendebum di kejauhan, mengirimkan kelabu pada langit yang mulai temaram. Satu gurisan pedih menambah deretan balur-balur duka pada hatinya, makin pekat apa yang telah tercatat di sana. Sebuah kemarahan untuk darah yang tersimbah di tanahnya, tanah para syuhada, PALESTINA.



Sayyaf belum genap 14 tahun. Matanya teduh, menyirat baris-baris memori yang pernah terekam di sana. Bibirnya kering, 21 juz sudah terlontar lancar tanpa diminta. Tangannya kecil namun liat, terlatih menjamah target jika intifadah diserukan. Badannya kurus semampai, meski asupan gizi ia dapat ala kadarnya.



Saat kecil ia terbiasa menghafal Al-Qur'an sambil menatap sang ibu membelah batu2 besar untuk persiapan intifadah. Di sudut lain, kakak kakak lelakinya berkerumun dengan pemuda lain membicarakan daerah penyergapan. Ayahnya meramu kayu2 tebal menjadi tajam dan mudah melayang. Kesibukan itu akan segera berakhir jika sebuah gedoran keras menyapa pintu rumah mereka diiringi pekik takbir, sebuah tanda bahwa penyerangan segera diletuskan. Sang ibu akan segera merangkul Sayyaf dan menggendong adik-adiknya menuju persembunyian sederhana yang di bawah lantai dapur. Ia bersama ibu dan tiga orang adiknya harus meringkuk dan bertahan selama mugkin di ruangan yang pengap itu. Itulah saat yang indah untuk melantunkan hafalan, di tengah pengap debu, berjejal dengan nafas kegetiran.



Sayyaf berbalik dengan tangan mengurat jelas menggenggam ketapel. Dia marah karena beberapa saat lalu yahudi la'natullah hanya membidikkan bom-39 ke pemukiman penduduk. Tak ada yang bisa disambarnya, tak ada yang jadi sasaran lemparan batunya, padahal puluhan nyawa tak berdosa telah gugur akibat letusannya.



Tanpa kata diangkatnya tubuh-tubuh bermandi darah yang tanpa dosa. Anak-anak itu, wanita-wanita itu harus menghembuskan nafas tanpa tau apa-apa. Tak ada ucapan yang mengudara di senja yang kelam itu. Para pejuang telah terbiasa mengunci mulut mereka dalam doa, sambil memindah gelimang jasad di antara reruntuh bangunan. Sepi.



Sayyaf bangkit. Terukir jelas dalam ingatannya, sebuah masa di mana ayahnya rubuh tepat di hadapannya. Terekam juga dalam ingatannya, sebuah masa di mana ia menemukan ibu dan tiga adiknya sudah tak bernyawa. Airmatanya kini teramat mahal, tak mampu ditebus oleh pemandangan yang menyiksa, tak bisa mengalir hanya karena duka. Duka baginya sudah teraduk rata dengan ketebalan imannya. Duka baginya adalah ramuan semangat. Tak bisa disapu hanya dengan luncuran drone missil yang meluluhlantak tanahnya.



Ia melihat dua kakaknya mengangguk memanggilnya dari jarak yang hampir tak terjangkau mata. Sayyaf mengerti. Ia meninggalkan gundukan tanah yang ada di hadapannya. Tanah yang menyelimuti tubuh para syuhada yang telah dipanggil oleh pemiliknya. Sinar jingga pada batas cakrawala meniup penglihatannya. Wajahnya mengeras lagi. Ia siap untuk sebuah penyerangan tank tank yahudi yang terpisah 5 km dari tempatnya berdiri, dini hari nanti....



Di manakah syahidku ??

sebuah mati yang kurindui,

yang melantak jasadku pada kemuliaan,

membeli imanku sebagai mahar..



Dimanakah syahidku?

Cara berpulang yang begitu ingin aku tempuh,

menatap Rabbku dalam kebahagiaan,

memberi raga yang tak kekal...



Ini aku, LAWANLAH!

Ini batu-batuku, GILASLAH!

Ini rumahku, RUNTUHKANLAH!

Ini keluargaku, SYAHIDKANLAH!



Tak ada percuma di sisiku,

tapi kerak neraka untukmu,

tak yang tersia di sisiku,

tapi kelaknatan untukmu.



Singa-singaNYA mulai mengaum di seluruh bumi,

taringnya akan kokohkan ideologi,

Tapaknya akan jelas membabatmu,

menggulungmu,

menistakanmu,

memeti-eskan peradabanmu!



LIHAT!

Mereka mendengar seruanku, mereka mulai bergerak ke arahku,

mereka menyusun imperium baru,

imperium HAQ yang akan menelan pengikutmu!



Wahai PERINDU SYAHID,

yang bergerak semata karena panggilan Penciptamu,

yang menginginkan hukumNYA tegak tak terkecuali,

yang mengazamkan diri tuk melumat habis para penjajah tak bernurani,

KUTUNGGU seruan sang AMIRUL MUKMININ MENGOMANDO LANGKAHMU SAMPAI KE TANAH INI!

KUTUNGGU HADIRMU DI SINI!!

DI SINI!!

Perempuan yang Menjaring Duka

Perempuan yang Menjaring Duka


_Semburat Jingga_

“Ngomong Mas, ngomong !!!”, matanya terendam basah, tak kuasa Meta menahan air mata agar tetap pada tempatnya. Yang diajaknya bicara terus bungkam, tak berniat berubah pikiran untuk memberikan ketenangan pada wanita yang tengah dipunggunginya. Sebenarnya hatinya berdesir mendengar suara yang mengharu biru itu, tapi nalurinya berhasil meyakinkannya untuk tetap diam.

“Mas, tolong… Jangan tinggalin Meta seperti ini. Mas….”, isakannya percuma. Tangisnya sia-sia. Hingga dua polisi membimbing lelaki itu masuk mobil patroli, ia tak mau bicara. Ia biarkan wanita berkerudung itu melihatnya pergi dengan tanda tanya yang entah kapan mampu dijawabnya.

Mobil patroli itu berlalu. Air mata Meta belum kering. Yang berkerumun di situ mulai berbisik sinis, menguak harmoni sumbang yang menyesak ke telinga Meta. Tapi perempuan itu tak peduli. Raganya terasa mati. Bagamana tidak ?! Lelaki pendiam yang sangat dicintainya sembilan tahun ini baru saja pergi. Dengan tidak terhormat pula… Dengan borgol yang menyegel mati dua tangannya, lelaki itu sama sekali tak membiarkan Meta tahu mengapa aparat mesti membawanya pergi.

*******



Siang itu udara pekat dengan debu dan asap. Ditambah lagi matahari samasekali tak malu unjuk diri di atas sana. Sebuah sedan hitam metalik berplat merah berhenti di halaman parkir toko perhiasan ekslusif. Dua lelaki turun. Yang satu berdasi dan berpakaian rapi dengan mata tak henti memandang lurus bangunan yang ada di hadapannya. Tatapannya kaku, tak bisa dialihkan lagi. Sedang lelaki yang satunya memakai celana jeans dan kaos, menghadap temannya dengan alis naik penuh tanda tanya.

“Mau ngapain sih Pras ? Emang Lu gak ada kerjaan di kantor ?”

Lelaki berdasi yang ditanya hanya tersenyum tipis. Dia melangkah pasti memasuki bangunan itu, ingin diikuti. Yang bertanya makin heran dan terpaksa mengekor temannya itu. Ada-ada aja, desisnya…

“Mau yang ini, Pak ?”, sang pramuniaga bertanya setelah si pembeli yakin dengan pilihannya.

“Ya, yang ini”, jawabnya pasti. “ Tolong dibungkus ”, lelaki berpakaian rapi tersenyum lebar pada temannya yang serasa ingin mati berdiri.

“Wah.. gila Lu Pras!! Lu punya cewe simpenan ??”, ia mengusap dada melihat ulah temannya.

“Pras..Pras.. dua puluh tahun kerja juga gue gak mampu beli deh!”



******

Meta menangis di atas sajadahnya. Matanya kuyu dengan lingkaran hitam di sekitarnya, pertanda wanita itu kurang tidur dan banyak menangis. Dadanya masih terus naik turun, penuh sesak dengan perasaan kecewa dan marah. Sungguh ia tak mengerti Mas Pras, apa yang merasuki hingga imam keluarganya itu tergoda melakukan korupsi. Angkanya pun fantastis, 10 Miliar ! Pengadilan menjatuhkan 7 tahun penjara untuknya. Desahan nafasnya makin keras, rasanya tak cukup lagi tempat di hatinya untuk menampung lara.

Dialihkan pandangannya ke sofa. Seorang gadis mungil delapan tahun terbaring kelelahan di sana. Meta tahu Alfafa pasti sangat tertekan. Di awal penangkapan ayahnya ia harus merasa kehilangan, lalu wartawan yang ditemuinya berjubel di depan rumah tiap ia keluar membuatnya sangat ketakutan. Belum lagi pandangan teman-teman sekolahnya yang mengucilkan dan menjulukinya, ANAK SANG KORUPTOR. Cukup sudah yang dirasakan putri kecilnya.

“Pokoknya aku sudah menggunakan uang itu untuk keperluan yang pantas”

Cuma itu yang dikatakan Mas Pras tiap Meta bertanya dikemanakan uang haram itu. Awalnya Meta tak lelah menanyai suaminya tentang hal itu di hari-hari kunjungannya. Tapi lalu Meta berada pada satu keadaan dimana dirinya tak bisa lagi tahan dengan semua ini. Sikap diam suaminya telah membuat kekecewaan Meta makin menjadi. Lelaki yang hampir sepuluh tahun lalu mengirimkan biodatanya pada Bapak sebagai langkah awal untuk meminta Meta menjadi pendampingnya, lelaki yang mengiyakan janjinya untuk selalu taat pada Allah sebagai syarat farji yang diminta Meta di depan penghulu, lelaki yang membuat Meta menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan hidup yang ditawarkan padanya. Lelaki itu kini berada lurus di depannya dengan rahang kaku. Itu meyakinkan Meta bahwa memang Mas Pras tak bisa lagi menunaikan janji farjinya. Sudah tak bisa. Dan sebuah ucapan keluar dari bibir Meta setelah tahajud panjang di tengah kepayahannya.

“Ceraikan saya Mas”

Lelaki yang biasanya tertunduk tiap Meta datang menjenguknya, mengangkat muka kali ini. Dilihatnya wanita anggun dalam balutan jilbab dan kerudung yang ada di hadapannya. Wanita itu tak lagi terisak. Sorot matanya masih sayu dan penuh kecewa, tapi ia juga menangkap kesungguhan terpancar dari sana. Kesungguhan yang tak mungkin bisa ditolaknya walau ia sangat sangat tidak ingin mengatakannya.

“Meski sudah pisah, apa aku boleh menjenguk Alfafa kalau aku bebas nanti ?”

“Tentu. Alfafa anakmu juga”

Meta menatap tajam pada lelaki itu. Sebenarnya ia berharap lelaki itu mau berubah pikiran dengan mengatakan untuk apa ia gunakan 10 miliar itu. Tapi harapannya seperti menggarami air laut. Meta berdiri, meyakinkan dirinya untuk tak lagi meratap. Apapun yang terjadi, ia hanya tahu itulah yang diisyaratkan Allah usai doanya.

“Saya akan urus ini secepatnya, Mas. Assalammualaikum”

******

Meta merapikan buku-bukunya. Tinggal barang itu yang masih tersisa. Pakaiannya sudah ia kirim ke rumah ibu beberapa hari lalu. Ya apalagi yang bisa ia bawa dari rumah suaminya itu. Tak ada banyak barang di rumah mungil itu selain TV, kulkas, mesin cuci, rice cooker dan perabotan pecah belah. Memang kesederhanaan yang menjadi gaya hidup Mas Pras sejak ia pertama mengenalnya. Dan gaya hidup itu samasekali tak berubah meski di tahun keenam pernikahannya, Mas Pras diangkat menjadi anggota MPR. Mas Pras sangat jujur, Meta tahu betul itu. Ia tahu suaminya tak pernah mengambil selain gaji pokok pegawainya, jika ada uang lebih meskipun itu halal, Mas Pras lebih senang membagikannya kepada anak-anak di bawah kolong jembatan yang dilaluinya sepulang kerja.

Tapi korupsi yang dilakukan suaminya, telah merubah penilaian Meta terhadap lelaki yang dihormatinya itu. Entah untuk apa dan kenapa Mas Pras melakukannya, yang jelas Meta sudah sangat lelah menanyakannya. Tapi ada satu hal yang Meta yakini hingga mengantarkan pernikahannya pada perceraian adalah perbuatan baik apapun yang dilakukan dengan cara haram, tetap haram di mata Allah. Apapun yang dilakukan Mas Pras dengan uang itu, Meta tetap tak akan bisa menerima alasannya.

Meta mendorong dus-dus yang berisi bukunya ke luar pintu. Ia tak mau lagi tinggal di rumah itu, meski sebenarnya ia turut membantu Mas Pras membeli rumah itu dengan penghasilannya sebagai pengusaha jilbab. Meta ingin tinggal di rumah Ibu, meski itu artinya ia harus memulai semuanya dari awal. Tapi pasti itu akan terasa ringan dengan Alfafa di sisinya. Perlahan dikuncinya pintu rumah kenangan itu. Meta menyembunyikan kunci di balik rimbunnya tanaman pot. Mas Angga, sahabat baik mantan suaminya, akan mengantarkan kunci itu pada pemiliknya di penjara sore nanti.

*****



Jannatin Alfafa. Sebuah taman rimbun di syurga. Putrinya itu bukan lagi bocah delapan tahun yang masih suka menjerit dan mengelap ingusnya dengan lengan baju. Ia sudah lima belas tahun sekarang. Sudah besar dan jelita. Makin ayu dengan kerudung lebar menutup dada dan jilbab di tiap penampilannya. Sekarang buah hatinya itu tengah terisak di dada seorang lelaki yang selalu dinantinya bisa hadir melihat ia tumbuh dewasa.

“Abi..Alfa kangen banget sama Abi”, ucapnya terisak menahan haru.

Meta tak ingin larut, tapi kristal bening tetap saja turun membasahi kerudungnya. Padahal ia benar-benar tak menginginkannya. Lelaki yang dipeluk Alfafa memandang lurus ke arah Meta. Pipinya tirus, matanya cekung. Tapi hitungan tahun tak bisa melekangkan sorot mata penuh cinta itu. Mas Pras masih sama.

Pras menemui Meta dan putrinya tanpa banyak berkata. Mereka bertiga menikmati hangatnya canda dalam diam. Alfafa dengan senyum lebarnya. Pras dengan sorot penuh kasihnya. Sedang Meta dengan alis berkerut penuh tanya. Ya, Meta masih selalu menyodorkan ekspresi muka itu pada Pras. Seolah menuntut jawaban dari pertanyaan yang belum bisa dijawabnya, Kau kemanakan uang haram itu Mas? Tapi lagi-lagi diam yang menjadi cara komunikasi mereka. Dan akhirnya Meta menyerah tanpa meloloskan pertanyaan itu dari bibirnya.

*******



Mas Angga duduk di hadapan Meta dengan bahu lunglai. Sudah setengah jam Meta menanti sosok itu bicara. Sosok yang dulu dikenal Meta sebagai sahabat karib Mas Pras. Entah mengapa lelaki ini tiba-tiba datang ke butik jilbabnya.

“Mas Angga, ada apa ?”, Meta mulai gemas menahan ketidaksabarannya. Dia risih karena hanya duduk berdua dengan lelaki yang bukan mahramnya, tapi laki-laki itu tak bisa membaca kegelisahan Meta.

“Lu tau kan Pras udah bebas sebulan lalu ?”

“Ya, saya tau. Kemarin-kemarin Mas Pras juga datang menjenguk Alfafa.”

“Yang bener ? Pras ngomong apaan ?”, keingintahuan terpancar dari sorot mata lelaki itu, membuat Meta dipenuhi tanda tanya.

“Gak banyak yang kami bicarakan. Tapi Mas Pras lebih sering ngomong sama Alfafa, bukan sama saya.”

“Ohhh…”, bahu lelaki itu lunglai lagi.

“Ada apa sih Mas?”, Meta menegakkan punggungnya.

“Pras gak ngomong soal duit korupsi itu ya Met ?”

Alis Meta terangkat. Ada apa ini ? Sudah ratusan hari Meta tenggelamkan dirinya dalam kesibukan agar ia lupa satu hal yang memang belum terpecahkan itu. Dan pertanyaan Mas Angga barusan menyadarkan Meta bahwa sebenarnya ia belum bisa lupa dengan masalah itu. Masih merasa kecewa dan marah jika mengingat nominal uang haram itu.

“Mas Pras gak ngomong masalah itu. Ah udahlah Mas, mungkin benar kata orang-orang kalo Mas Pras memberikan uang itu untuk wanita lain dalam kehidupan pernikahan kami dulu”, Meta mencoba menghilangkan kecewanya yang membuncah.

“Gak Meta, Pras bukan laki-laki brengsek macam itu. Gue tau bener dia. Sejak dia ngeliat Lu di Islamic Book Fair gak ada wanita lain yang Pras cinta sampai saat ini…”

Sampai saat ini… entah kenapa kata-kata begitu indah mengalun di telinga Meta. Andai ia masih remaja seperti dua puluh tahun lalu, ingin rasanya ia berguling-guling di lantai saat ini juga. Tapi Meta sadar siapa dirinya sekarang, meski tak dipungkirinya kata-kata itu membuat pipinya merona.

“Terus kalo bukan itu, berarti untuk apa lagi ? Sampai sekarang kan gak ada orang yang tau ke mana Mas Pras menghabiskan uang itu”. Meta ingat, bahkan pada polisi yang menginterogasinya saat itupun Mas Pras tetap tidak mau mengatakan kemana uang itu ia belanjakan. Hal itu membuat Meta yakin bahwa tak ada satu orangpun yang tau perihal 10 miliar itu.

“Gue tahu Meta. Gue tahu Pras pake uang itu buat apaan !”

Kata-kata Mas Angga membuat Meta berdiri tiba-tiba. Wanita itu kaget minta ampun. Ternyata jawaban pertanyaan yang tujuh tahun ini menghantuinya tersimpan rapi di balik bibir Mas Angga. Meta tak percaya, mulutnya terbuka beberapa saat lamanya.

“Maaf Meta, bukan elu aja yang gelisah. Tujuh tahun ini gue juga tersiksa. Tapi Pras selalu mohon biar gue gak cerita ke siapapun termasuk ke elu. Dia selalu mohon sambil nangis, jadi gue gak mungkin bisa nolak”, Mas Angga mulai terisak. Tergambar kegelisahan yang disimpan lelaki itu hampir sama seperti kecewa yang juga dipendam Meta, “Maafin gue Met..Tapi sekarang gue gak peduli. Lu harus tau Met.”

“Terus…uang itu dipake Mas Pras untuk apa ?”, terbata Meta bertanya menahan kecemasan yang dirasakannya sampai ke ubun-ubun kepala. Meta bersiap untuk apapun jawaban yang akan dipaparkan Mas Angga.

“Met, Lu tau kan Pras tu orang gak punya, dia sederhana banget. Gue tau dia sejak kecil. Meski dah jadi Master trus kepilih jadi anggota MPR, Pras tetep jadi orang yang jujur en sederhana kan”, ucapannya Mas Angga membuat Meta hampir mati penasaran.

“Iya Mas, saya ngerti. Sekarang Mas kasih tau langsung aja!!”, Meta meremas ujung kerudungnya.

“Makanya gue bilang dulu Met. Pras ngerasa dia gak pernah ngebahagian elu, karena selama nikah dia gak pernah ngasih elu apa-apa.”

Ya, Meta tau itu. Sembilan tahun menikah memang tak ada benda apapun yang diberikan Mas Pras untuknya selain perabotan rumah tangga. Kejujuran lelaki itu membuat pendapatannya tak memungkinkan mereka hidup berfoya-foya. Tapi…

“Kalung itu Met. 10 miliar itu dia pake buat beli kalung itu. Dulu dia minta gue nemenin waktu beli.”

Meta yang sedari tadi berdiri dengan tubuh mengejang, tiba-tiba jatuh terduduk. Lunglai. Sendinya lemah. Matanya banjir. Perlahan diraba lehernya, tempat dimana uang 10 miliar itu bersarang hingga kini. Dulu dikiranya itu hanya kalung perak dengan batu putih indah memenuhi tiap detilnya, hadiah yang Mas Pras beri untuk hari jadinya yang ke-31.

“Itu berlian Kalimantan terbaik Met, mata kalungnya tu intan yang diimpor langsung dari Afrika. Untuk kalung itu dan harapan bisa ngebahagiain elu, Pras rela ngabisin waktunya di penjara.”

Angga melihat Meta dengan mata yang basah, pasti itu menyakitkan tapi Meta harus tahu bahwa Pras begitu mencintainya sampai jalan yang dipilihnya salah. Lamat isakan Angga melemah, berganti dengan jeritan tangis Meta yang pilu dan dalam. Bahka angin pun serasa berhenti sesaat untuk mengusap derita di batinnya…

Lantunan Cinta Sang Pencinta

Lantunan Cinta Sang Pencinta

_Semburat Jingga_


Lewat ekor mata, aku tau matanya yang sipit kecoklatan memandangku lagi. Tetap tajam namun lembut, seperti biasanya. Bibirnya terbuka hendak berkata-kata, namun mungkin rasa segan membuatnya terkatup lagi. Dengan handuk putih bertengger di bahu, ia membalikkan badan membelakangiku. Pergi. Aku diam sejenak lalu mengoleskan metal polish pada baritone kesayanganku, menggosoknya sampai berwarna hitam dan melapnya sampai bersih. Pantulan sinar dari tutsnya menandakan baritone ini selalu terawat dengan rapi. Irio dan Laode tersenyum iri padaku. Baritone mereka tidak pernah semengkilap milikku, padahal kami membersihkannya bersama-sama dua kali seminggu.

“Ngiri ya? Hehehe… Nggosoknya yang bener dong , kan udah aku ajarin”, ujarku. Mereka hanya bisa memajukan bibirnya 2 cm.

“Murid lesnya masih banyak mbak Wina?”, si pemilik mata sipit sudah berdiri di depanku saat kudongakkan kepala. Senyumnya mengembang, memamerkan deretan gigi yang kecoklatan karena nikotin.

“Masih, Kak. Sekarang malah ada murid yang baru. Alhamdulillah…”

Kumasukkan baritone ke dalam plastik pembungkus lalu meletakkannya dengan hati-hati ke dalam peti. Aku berlalu dari hadapannya tanpa kata-kata. Aku tau mulutnya terbuka lagi, namun aku segera berlari menyusul teman-temanku menuju gerbang kampus. Kugapai bahu Asma lalu tawa kami berderai seperti biasanya. Dari kejauhan kulihat ia melindungi wajahnya dari sorotan mentari senja. Pandangannya tertuju padaku.

*********

Aku sangaaaaat mencintai marchingband. Karena kecintaan itulah tiga hari kemudian aku tetap melangkahkan kaki ke kampus sebuah tercinta (Perguruan Tinggi Kedinasan). Padahal pakaian yang kukenakan bukan lagi training dan kaos olahraga kampus seperti biasanya. Hari itu adalah hari perdanaku memakai jilbab. Ya, baju kurung yang mengulur dari bahu sampai mata kakilah yang kukenakan. Kulihat puluhan pasang mata menatapku terpana saat aku memasuki ruang latihan. Apel pembukaan baru dimulai. Dengan rasa percaya diri yang kukumpulkan, kulewati puluhan tatapan sinis, merendahkan, dan mengucilkan itu. Teman-temanku seakan tak lepas melucutiku dari ujung kerudung sampai kaki. Mata sipit itu memandangku dengan tatapan tidak seperti biasanya, tapi aku tetap berjalan ke arahnya.

“Kak Wirawan, mulai hari ini boleh nggak saya latihan pake gamis?”, agak sedikit gemetar aku meminta izinnya.

“Ngapain pake gituan? mbak mau pindah kuliah ke Mekkah? ”, matanya membulat tanda tak setuju. “Mbak Wina aneh banget!”

Aku terkejut mendengar kata-katanya. Suara lembut dengan tatapan menyejukkan itu sudah tiada. “Ya sekarang pakaian saya di luar jam kuliah kayak gini Kak. Boleh gak saya tetap menjadi anggota Korps Marching Band AMG dengan pakaian seperti ini ??”. Kutinggikan nada suaraku pada pelatih alat tiup itu, aku mulai kesal dengan responnya. Apalagi teman-temanku mulai mengejekku dengan kata-kata yang membuat gatal telinga.

“Nggak boleh!! Kalo mau tetep latihan, tolong pake pakaian seperti biasa!!”, keputusan Kak Wirawan sudah terucap.

Kuhela nafas dalam-dalam,”Ya sudah Kak. Tolong cari peniup baritone untuk menggantikan posisi saya. Saya keluar!”

Gontai tapi pasti aku keluar dari ruangan itu. Kepalaku tertunduk. Hatiku tertohok oleh perasaan yang tak menentu. Air mataku mengalir, tapi sungguh, aku tak ingin mereka melihatnya.

“Win, Wina!!! Sebentar !” Teriakan Zakiy menahanku di pintu rektorat, “Kak Wirawan mau ngomong sebentar.” Kuikuti langkah komandan marchingband itu ke ruang tamu. Dari ruang latihan teman-teman antusias mencari tau apa yang terjadi. Mereka bergonta-ganti melongokkan wajah ke arah kami.

“Ada apa Kak?”, tanyaku singkat.

“Kenapa mbak Wina harus pake pakaian kaya gitu? Jangan ikut kaum ekstrem kanan, yang biasa ajalah ngejalanin hidup”, lelaki paruh baya itu menghisap tembakaunya dalam-dalam. Dia tampak bingung. Keringat tak berhenti mengalir dari dahinya.

“Ini kan memang pakaian buat muslimah Kak. Saya tidak mau Allah enggan melirik saya karena saya tidak bersegera menjalankan perintahNya, padahal saya sudah tau itu. Saya lebih senang jika manusia yang membenci saya. Jadi tidak masalah kalau saya keluar dan dihujat, yang penting Allah ridha pada saya.”

Mata sipit itu bergerak kesana-kemari, mencari kata yang bijak untuk diucapkan, “Ya sudah, silahkan latihan lagi. Sulit untuk menemukan peniup baritone seperti mbak.” Ia menggilas puntung rokoknya dengan paksa. Aku tau ia menatapku sejenak sambil menelan kekecewaannya, lalu pergi tanpa berucap.

*********

Siang itu, di bawah panggangan matahari kami berlatih display untuk acara 17 agustus. Seminggu lagi kami akan tampil di Kantor pusat. Semua atasan menunggu hari itu, karena kami akan tampil perdana. Sudah 4 jam wajah-wajah kami terbakar panasnya matahari Jakarta. Suara Mega sebagai field commander terdengar makin parau. Bibirnya pucat, wajahnya bias. Aku juga merasakan mulutku baal, mati rasa. Tapi senyum tetap merekah menghiasi bibir-bibir barisan horn line, percussion line dan colour guard. Kami bangga. Kamilah angkatan pertama Korps Marching Band kampus ini . Namun jauh di lubuk hati, rasa yang tak karuan itu makin terasa. Dan aku ingin segera menumpahkannya.

“Kak saya mau keluar marchingband”, ucapku pada para pelatih seusai latihan, termasuk Kak Wirawan. Bola mata mereka membesar. Lagi-lagi aku harus menjelaskan. Dan lagi-lagi aku harus menerima cacian dan hujatan. Namun niatan untuk tunduk pada hukum syara’ membuatku sangat berani menjawab dan melewati makian itu. Seluruh pelatih dan teman-teman menghujatku. Tidak ada yang bisa menerima bahwa alasanku keluar adalah karena aku tidak mau lagi berikhtilat, tasyabbuh, dan meninggalkan kewajiban berjilbab saat tampil. Aku keluar dari ruang latihan dengan iringan koor “Huuu..” dari teman-temanku. Bisa dibayangkan?? Teman yang sudah hampir tiga tahun bersama, dengan mudah membenciku hanya karena aku keluar marching band. Padahal aku melakukan itu karena aku mencintai Rabbku!

Mata sipit Kak Wirawan memandangku sayu. Dadaku sesak. Gerimis di hatiku makin deras. Sungguh aku sangat mencintai marchingband, alat tiupku, dan teman-temanku. Aku ingin tetap berlatih dengan bangga sebagai angkatan pertama Korps Marching Band. Aku ingin sebuah lambang kehormatan tersemat pada seragamku. Dan terlebih karena aku ingin melihatnya. Melihat lelaki paruh baya itu dengan tatapan lembutnya. Melihatnya menantiku merapikan alat di ujung ruang. Menikmati tawa dan senyumnya yang selalu terkembang untukku.

********

Di sinilah aku sekarang, empat hari setelah hari itu. Berdiri melihat kawan-kawanku berlatih drumband dari luar pagar kampus. Mereka semua tetap mendiamkan dan menghujatku. Tak ada yang sadar aku memperhatikan mereka, karena bagi mereka aku tak lagi berguna. Di tanganku ada lembaran buletin yang siap kuedarkan. Aku akan mengopinikannya pada adik-adik kajianku, yang tengah bersemangat menyongsong kemuliaan islam di depan mata. Dari kejauhan kulihat Kak Wirawan tengah menatapku, aku tersenyum simpul. Bagaimanapun, lelaki dengan dua putra itu sempat menjadi bunga tidurku sampai sekian waktu. Langkah kaki membawaku menjauh dari sana, dari marching band, Kak Wirawan, dan hiruk pikuk dunia.

Kulabuhkan lantunan cinta ini hanya padaMu Ya Rabb, karena aku mencintaiMu lebih dari apapun…

Saat Kasihnya Tak Seindah Lagu

Saat Kasihnya Tak Seindah Lagu
_Semburat Jingga_
Kasih ibu kepada beta,

Tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia



*******

“Ibu butuh berapa ?”, sebisa mungkin kupendam kecewa dan membiarkan perasaan itu larut dalam tiap hembus nafasku. Kupandangi wanita yang sejenak tadi matanya berpendar girang saat kutanyakan berapa rupiah yang dibutuhkannya. Hanya uang yang bisa membuatnya senang, ia hampir tidak menggubris keberadaanku.

“Sejuta lima ratus ribu ya cah nggantheng, kontrakan ibu nunggak delapan bulan”, wanita itu cepat-cepat mengoleskan lagi bedak murahan pada mukanya setelah lelaki yang sedang menunggunya di ujung jalan mulai melambai tanda tak sabar. Sambil mengeluarkan uang, aku menyadari bahwa wanita ini sebenarnya tak lagi muda, namun sapuan bedak tebal itu menunjukkan betapa wanita itu berusaha keras menutupi kerut senja di dahi dan matanya.

“Ini Bu…”, wanita itu segera menarik lima belas lembar ratusan ribu dari tanganku.

“Suwun ya Ahyan, kamu memang anak yang berbakti. Ati-ati yo, ibu tak pergi sek”

Seulas senyum buru-buru yang lepas dari bibir wanita itu membatalkan keinginanku untuk mencegahnya pergi. Tak mungkin bisa membiarkan ibu pergi…, batinku. Wanita itu segera bergelayut di pundak lelaki yang sedari tadi menunggunya. Tawa keduanya memecah keheningan jalanan yang baru saja disapa hujan. Aku memandang mereka dari jauh dengan embun dingin di pelupuk mata..

*********



Sembilan belas tahun yang lalu aku melihat bocah itu untuk pertama kalinya di pelataran masjid Ar-Royan. Kerasnya angin dan gelegar guruh seolah terkalahkan dengan tangisan bocah itu. Ia tergugu dalam tangisnya bertelekan selimut kumal sambil memeluk erat bungkusan plastik hitam. Kesepian menari tersendat pada mata bocah itu saat aku menatapnya. Ia memanggil guruh dengan tangisannya, mungkin ia ingin mengadu bahwa apa yang dialaminya lebih hebat dari suara guruh. Tanpa perlu bertanya aku tahu kesedihan yang dirasakan bocah itu memang lebih dingin dan dalam dari air hujan. Ahyan. Begitulah bocah itu mengenal dirinya. Ia tak ingat lagi dua penggal kata di belakang namanya, ia sudah lupa. Usianya yang kala itu baru empat tahun membatasi daya ingatnya meski terkadang ia bilang bahwa wanita yang meninggalkannya sendiri di pelataran masjid sering mengeja nama lengkapnya sebelum ia tidur dengan bentakan. Entah wanita berhati batu mana yang tega membiarkan Ahyan menggigil menahan lapar dan sedih di tengah hujan badai.

Tak banyak yang bisa aku tawarkan padanya sejak malam itu. Aku hanya penjual es dawet di pinggiran jalan kawasan wisata Baturraden. Tapi Ahyan kecil tidak mengeluh, ia mengikutiku sepanjang hari aku berjualan. Senyum tulus yang selalu menggantung di bibir merahnya seolah meyakinkanku bahwa kami bisa menjalani ini berdua. Ahyan kecil menyalakan lagi ruang gelap dalam jiwaku setelah sekian lama aku memang membiarkannya kosong karena kematian suamiku. Tak ada lagi kata hampa, sekarang hidupku mulai jelas dan terarah karena Ahyan selalu memberiku dorongan harus bagaimana aku bersikap. Mungkin dialah yang dikirimkan Allah sebagai jawaban doa-doa panjangku. Aku hanya meminta kesedihanku sirna, tapi ternya Allah memberiku lebih…

******

Kulihat seorang wanita dengan dandanan norak sedang bercanda dengan lelaki tengah baya di depan kontrakan kumuh itu. Asap rokok dihembuskannya berulangkali dengan nikmat sambil sesekali tawanya pecah menyaingi deru kendaraan yang melintasi jalanan tol di belakang pemukiman ini.

“Diakah orangnya…?”, tanyaku berulang kali, berharap alamat yang diberikan Bang Yol, kuli angkut Pasar Kebayoran, salah. Tapi sudah empat kali aku menanyakan pada orang yang lalu lalang di sekitar situ dan mereka menjawab Kampung Naga ya di sini dan rumah Mbak Warni -begitulah orang menyapa wanita itu- memang yang kini ada di hadapanku. Aku berusaha mengelak, tapi tawa renyah wanita itu memang mengingatkanku pada tawa seorang wanita yang belasan tahun lalu terdengar dari bilik kamarku saat menemani laki-laki. Suaranya juga sama dengan suara wanita yang rajin memenuhi gendang telingaku dengan gertakan tiap saat aku sedikit melakukan kesalahan. Aku berusaha meneropong ke masa lalu, berusaha mengingat bayangan wanita yang selalu meninggalkanku tiap malam menjelang. Mencari serpihan rindu yang dulu acapkali kurangkai di ujung ranjang, meski lebih banyak rasa nyeri yang hadir jika kuingat wanita itu. Dulu sekali aku kerap memanggil mesra wanita itu dengan panggilan ‘Ibu’. Dengan ucapan basmalah tak henti, kucambuk kakiku yang terasa berat untuk melangkah mendekati kontrakan itu. Paras wanita itu kini makin tertangkap jelas di mataku. Matanya yang keruh karena asap rokok, bibirnya yang dilapisi gincu tebal, dan juga guratan di dahinya. Salamku menghentikan perbincangan antara wanita itu dengan lelaki yang akan mengencaninya.

“Lu dah janjian ma yang laen War ?! Busyet dah!! “, lelaki tengah baya itu menegakkan tubuh dan meninggalkan wanita di hadapannya dengan kesal. Lelaki itu melewatiku dengan mata merah dan pandangan nanar, deru nafasnya meninggalkan aroma alkohol yang kental.

“Bang Dar, tunggu! Warni gak janjian sama laki ini kok Bang. Bang Dar, Bang Dar….!!!”

Wanita itu berusaha mengejar tamunya, namun yang dipanggil sudah membaur dengan seliweran orang di pemukiman ini. Wanita itu kembali dengan wajah lelah yang dibalut kecewa. Ia hendak mengungkapkan kekesalannya karena kedatanganku menghilangkan sumber uangnya. Tapi mulutnya yang tadi menganga mendadak terkunci rapat saat ia menekuri wajahku dan matanya menatap lekat tahi lalat di ujung bibirku.

“Ahyan….???!!!”

******

Anak lelaki kebanggaanku datang membuka pintu sambil mengucap salam. Senyum segera terbentuk di bibirnya saat ia melihatku. Ia mendekatiku dan mencium tanganku takzim, kebiasaan yang tak pernah dilupakannya sejak dulu. Lingkaran hitam di bawah matanya melebar, ia pasti sangat lelah.

“Bunda, tadi pulang kerja Ahyan mampir ke kontrakan Ibu”, ucapnya melebur kesunyian, “Tapi bukan keadaan Ahyan yang Ibu tanyakan, yahh seperti biasanya Ibu cuma ingat uang.”

Aku tau Ahyan tak bisa menutupi rasa kecewanya yang dalam, parau suaranya membuktikan bahwa ia berusaha menelan kesedihannya. Aku tau itu karena aku telah ikut melihatnya tumbuh dewasa seperti sekarang. Jatuh dari sepeda, bentakan dari guru, nilai ulangan yang jelek, bukanlah hal-hal yang bisa membuat Ahyan bersedih. Tapi jika menyangkut Yu Warni, pasti mata Ahyan selalu basah dibuatnya.

Ya, Yu Warni, ibu kandung anak lelakiku yang belasan tahun dicarinya tak memberinya sedikitpun tempat untuk merasakan belaian seorang ibu. Tak ada kata sayang yang meluncur dari wanita itu padahal Ahyan selalu mengharapkannya usai pencarian panjang hingga kami harus pindah ke Jakarta. Tak ada waktu dari wanita itu dimana Ahyan bisa menceritakan perjuangannya hingga ia bisa menjadi desainer interior terkenal seperti sekarang. Sebenarnya sembilan belas tahun ini aku sudah berusaha sebaik mungkin memberikan apa-apa yang Ahyan butuhkan dari seorang ibu kandung. Tapi aku sadar bahwa memang kasih sayangku saja tak akan pernah cukup, ia pasti juga menginginkan itu langsung dari wanita yang melahirkannya.

Entah pergi ke mana naluri ibu pada wanita itu. Setelah meninggalkan Ahyan hanya karena takut tak bisa menghidupinya, sekarang pun hatinya tak tergerak untuk mengasihi Ahyan seperti halnya ibu-ibu lain. Mungkin kasih sayang wanita itu telah ditukarnya murah dengan rayuan genit dan cumbuan mesra pada lelaki yang menghampirinya tiap malam hanya demi lembar puluhan ribu rupiah. Naudzubillah,,padahal aku bisa memberikan Ahyan kehidupan yang baik dan halal dengan modal rasa khusnudzanku pada Allah. Cuma berkhusnudzan bahwa Allah pasti memberikan jalan keluar di tiap-tiap ujung masalahku, cuma itu. Dan Allah memang selalu sesuai dengan prasangka hambaNya…

Kuangkat muka anakku itu, “bagaimanapun dia itu ibu kandungmu, Yan”

******

Mataku tak bisa diajak berhenti memandangi laki-laki muda yang juga berdiri kaku di hadapanku. Inikah Ahyan ? Tapi tahi lalat di ujung bibirnya itu…dia memang Ahyan. Sungguh di luar dugaan, bocah kecil yang dulu kutinggalkan di sebuah masjid di daerah Purwokerto dengan hanya berbekal beberapa lembar pakaian kini telah tumbuh jadi lelaki tampan ,sehat dan gagah!! Kemeja yang dipakainya tak mungkin berharga puluhan ribu, aku bisa tau dengan sekali lihat. Tangan kanannya menjinjing kopor kecil, barang bawaan yang biasa dibawa kaum elite yang kerja gedongan. Apa isi kopor itu, laptopkah atau uangkah ???!! Wah dahsyat, kalau isinya uang entah berapa rupiah isi kopor itu, bisa puluhan juta. Keturunan Bang Roim, preman terminal Lebak Bulus itu bisa juga jadi orang kaya. Whuahahaha….riangku dalam hati.

“Ia Bu, saya Ahyan…”, akhirnya ia berbicara juga setelah dari tadi ia juga sama-sama terpaku meneliti keadaanku. Aku hanya bisa menyodorkan senyumanku yang terlebar, ya sebuah senyuman paling manis setelah aku menyadari bahwa Ahyan bisa kujadikan sumber pundi-pundi uangku. Jadi aku tak perlu terlalu ngoyo melayani empat sampai lima lelaki dalam semalam. Luarbiasa…mimpi apa aku semalam.

“Ya ya ya Ahyan, ini memang Ibumu. Ibu yang melahirkanmu dengan susah payah. Sini Nak, peluk Ibu, sini…. Akhirnya kita ketemu…”, kuraih tubuh anakku yang sebenarnya sudah belasan tahun kulupakan. Tapi wajahnya yang tampan ini selalu mengingatkanku pada ayahnya, Roim, preman tak bertanggungjawab yang telah menghantarkanku pada kehidupan kupu-kupu malam…

******

Ahyan selalu membayangkan hal-hal yang indah jika suatu saat ia bertemu ibu kandungnya. Mungkin ibu akan memeluknya dengan limpahan kasih yang meluap, atau ibu akan segera mengantarkannya ke toko es krim dan mengijinkannya makan es krim sampai puas hingga ia tak bisa berdiri karena kekenyangan, atau mungkin ibu akan langsung mengajaknya tinggal bersama seterusnya. Dia terus tumbuh dengan harapan yang indah itu sejak kecil, ia menitipkan renda-renda impian itu pada langit dan bunda yang menggantungnya tinggi-tinggi. Bunda tak henti menyemangatinya, mengajarinya, mendidiknya, hingga ia rela mengayuh sepada kumbangnya kuat-kuat untuk berjualan es dawet. Kian hari Ahyan bisa melihat kaki bundanya makin mengeras dengan tonjolan urat hijau di sana-sini. Kalau bunda yang bukan ibu kandungnya saja bisa memberiku kasih sebesar ini, maka pasti ibu akan menyayangiku lebih dari ini. Itulah impian yang dipupuknya…

Tapi dua bulan yang lalu saat Ahyan menemukan ibu setelah sembilan belas tahun pencariannya, perlahan impian itu sirna. Ahyan hanya berharap apa yang ibunya lakukan adalah akibat akumulasi kelelahannya menjalani hidup. Tapi ketika setiap bertemu hanya rupiah yang dituntut oleh ibunya, maka Ahyan pun sadar bahwa seharusnya ia tak punya impian saja. Sekarang lelaki itu harus kembali ke kontrakan ibu, ingin ia melihat wanita itu. Meski untuk melihatnya berarti ia harus siap dengan permintaan ratusan ribu.

Ia membuka pintu kontrakan setelah berulang kali salamnya tak dijawab. Ia melihat ibunya sedang berhias di depan cermin yang karatan.

“Kok Ibu gak jawab salam Ahyan?”

“Males, Ibu lagi sibuk. Gak liat po?”

Ahyan menarik nafas, “Ahyan kan udah bilang Bu, Ibu ikut Ahyan aja tinggal sama Bunda. Ibu gak perlu kerja kayak gini”

“Ibu juga bilang bolak-balek sama kamu, Ibu gak mau. Titik. Gak usah mekso”

“Bu, kenapa Ibu kaya gini ? Kenapa kok Ibu kayaknya gak sayang sama Ahyan. Padahal Ahyan selalu ingat dan nyari ibu kemana-mana”

Wanita di hadapannya menyipitkan mata sambil memandang sinis, “Bukan kayaknya, Ibu memang gak sayang sama kamu!”

“Kenapa Bu?”, Ahyan lemas menahan tangis. Dia tak ingin membuka matanya lama-lama, karena ia takut ini mimpi. Dan bulir bening yang jatuh melewati pipinya menyadarkannya kalau memang ini bukan mimpi…

“Tanya tuh sama bapakmu!”, suara wanita itu meninggi.

“Bapak Ahyan siapa, Bu? Kenapa bapak bikin Ibu benci sama Ahyan?”

Wanita itu memandang Ahyan makin sinis, seringai senyumnya mengukuhkan kebenciannya pada Ahyan, “Bapakmu, orang yang memperkosa ibu sampe lahir kamu. Belum juga ilang rasa sakit habis lahiran, dia sudah jual ibu ke temen-temennya. Kamu itu lambang sakit hati ibu, tiap liat kamu Ibu ingat bapakmu yang brengsek itu!!”

Wanita itu menjinjing tas dan menatap tajam pada Ahyan, “Ibu mau kerja, kamu mau ngapain lagi!? Cepet pergi!” Ahyan tak bisa menjawabnya, ia hanya terus meneteskan air mata. Sunyi. Satu dengusan keras mengantar wanita itu keluar, ia meninggalkan Ahyan yang mematung di kursi. Ia berlalu begitu saja, seolah tanpa dosa. Berharap langganan yang menunggunya di ujung jalan sana bisa memaklumi keterlambatannya.

Perlahan Ahyan bangkit, berjalan terseok melewati pintu. Seorang wanita tengah baya berdiri gemetar di sudut luar kontrakan. Tangannya mendekap erat mulut agar tangisan perihnya tak sampai terdengar. Tak kuasa ia menahan kesedihan setelah dari luar ia mendengar apa yang dikatakan seorang wanita pada anak lelaki kebanggaannya. Dari belakang ia pandangi bahu Ahyan yang tersedu, sama seperti yang ia lihat sembilan belas tahun lalu saat menemukan bocah itu.

Seorang wanita berdandan menor menemui laki-laki yang menginginkan tubuhnya. Seorang wanita lain berdiri termangu mengusap kesedihannya. Dan seorang lelaki muda menatap langit luas, ingin meminta kembali impiannya yang benar-benar sirna. Baginya kini, kasih seorang ibu lebih indah didengarkannya lewat lagu…

Kasih ibu kepada beta

tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia

DETAK PENANTIAN 84 BULAN

DETAK PENANTIAN 84 BULAN

_Semburat Jingga_


Syifa ketakutan, tubuhnya menggigil tak karuan. Gadis itu takut jika apa yang berkecamuk di hatinya benar-benar menjadi kenyataan. Dia mengenggam untaian Edelweiss itu, keringat di telapak tangannya membasahi batang bunga yang telah lama mengering. Dia terus meremas bunga itu sambil sesekali berbisik perlahan. Tidak mungkin lelaki itu yang datang. Ia telah pergi tujuh tahun lalu, meninggalkan Syifa dalam balutan kecewa yang mendalam.

Syifa berlari kencang menembus malam, genangan air sisa hujan yang diterjangnya membuat jilbab dan sepatunya basah. Gadis itu terus berlari, berharap menemukan sosok yang masih tersimpan indah di ujung hatinya. Tak ada siapapun di jalanan itu, hanya ranting pohon yang terus meneteskan sisa hujan petang tadi. Syifa berhenti dengan nafas tersengal, dadanya sesak dan mukanya mulai pucat. Ia yakin melihat lelaki itu di jalanan ini tadi, saat ia mengajak mahasiswi di tempat kuliahnya dulu untuk menghadiri kajian rutin di Masjid Ar-Ridwan. Namun keraguan di hatinya membuat gadis itu tak menghiraukan apa yang diihatnya. Ia tetap berjalan mendampingi adik-adiknya menuju masjid. Dan seikat edelweiss yang ia temukan di dekat sepatunya, mau tak mau menepis kebimbangannya. Tali dari benang wol merah jambu yang mengikat bunga gunung itu menjadi bukti bahwa lelaki itu telah kembali.

*******

Syifa sering melihat laki-laki itu melewati depan rumah kosnya, tubuhnya kurus dan tinggi, lehernya jenjang, kulitnya putih. Syifa juga sering melihatnya sedang bermain basket atau takraw di lapangan kampus, namun Syifa lebih suka menunggu lelaki itu melewati kosnya. Syifa yakin perut lelaki itu telah penuh terisi makanan, karena ia tau lelaki itu makan di kedai makanan yang tak jauh dari kosnya. Dia bintangnya olahraga bola, baik itu bola voli, bola basket, bola sepak ataupun bola takraw. Sore itu Syifa melihat lelaki itu berjalan perlahan dengan tumpukan bulletin di tangannya, ia menghampiri tiap mahasiswa yang berada tak jauh darinya seraya memberikan kertas-kertas itu. Saat mereka berpapasan, lelaki itu menghindari keberadaan Syifa dengan menundukkan wajahnya, namun tidak bagi Syifa, gadis itu tetap menatapnya lekat tanpa berkata-kata. Hanya semburat jingga warna pipinya yang menjadi tanda bahwa Syifa tidak mampu menahan deburan dan gemuruh hatinya.

Muhammad Zulfikar namanya. Dia orang Bugis, kuliah di jurusan Oseanografi. Dan usia lelaki itu setahun lebih muda darinya. Tak apa.. batin Syifa. Ia terus menghafal biodata lelaki itu, di kantin, di musholla, di tempat tidur walau hanya sebatas nama dan usia yang ia tau. Syifa tau lelaki itu aktivis islam, ia sering melihatnya berorasi saat ada aksi mahasiswa. Dengan ikat kepala hitam bertuliskan kalimat syahadat berwarna putih, lelaki itu terus membara menyuarakan tentang khilafah, islam ideologis, penerapan syariah dan hal-hal lain yang sebenarnya Syifa tidak tau apa artinya. Toh Syifa tetap dengan setia mengikuti orasinya sampai selesai. Syifa bagai anak angsa hilang di tengah kerumunan ayam, bagaimana tidak, yang menghadiri aksi seperti itu adalah akhwat sholehah dengan gamis dan kerudung lebar,deretan depan juga diisi dengan ikhwan-ikhwan yang tak pernah dilihatnya di acara kongkow-kongkow anak kampus. Sedangkan Syifa, lihatlah, ia mengikuti aksi-aksi itu dengan celana jeans dan kaos casual ketat membalut tubuhnya, kerudungnya pun tidak sempurna menjadi hijab bagi kepala dan dadanya. Tapi Syifa tak peduli meski deretan akhwat itu tersenyum berulang-ulang ke arahnya. Bukan senyuman sinis atau merendahkan memang, mungkin lebih karena mereka bingung melihat sekretaris utama BEM kampus hadir di acara seperti itu.

Entah lelaki itu merasakan kehadirannya atau tidak, Syifa tak terlalu memikirkannya. Gadis manis itu tetap rajin datang ke lapangan kampus tiap sore untuk melihat lelaki itu bermain basket atau olahraga yang lain, Syifa juga kerap merebut bulletin dari tangan teman-teman lelaki di kampusnya setelah lelaki itu membagikannya kepada mereka, atau tetap menunggu di depan kosnya setelah waktu makan tiba. Sore itu Syifa terdiam di depan masjid kampus, ia ragu untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Dia sudah melepas sepatunya namun laporan kegiatan diksar kampus yang belum selesai diketiknya membuat Syifa mengurungkan niat untuk menghadiri kajian mingguan di masjid itu. Tiba-tiba sebuah tangan meraih lembut lengannya, seorang gadis bergamis coklat dengan kerudung lebar berwarna caramel tersenyum manis ke arahnya. Syifa menatap dua bola mata yang indah dari gadis yang ada di hadapannya, sinar matanya begitu teduh dan membuat Syifa enggan beranjak dari tempat itu.

“Ayo masuk, kajiannya sudah hampir mulai loh. Syifa Alfalila jurusan Geodesi kan, kenalkan saya Meridian dari THP”, ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Syifa menyambut keramahan gadis itu dengan senyuman yang manis pula. Mereka sama-sama masuk ke masjid untuk mengikuti kajian itu. Syifa tertegun saat mendengar suara pembuka acara, ia yakin pemilik suara itu adalah lelaki yang rajin berorasi di aksi-aksi yang sering diikutinya. Ia hanya tersenyum, hatinya bersorak girang karena baru kali ini Syifa bisa mengikuti acara kajian dimana lelaki itu selalu hadir. Meridian juga tersenyum ke arah Syifa, entah gadis itu bisa menebak perasaan Syifa atau tidak, yang jelas ia tersenyum sambil menggenggam tangan Syifa kuat.

Meridian sering datang ke rumah kos Syifa sejak saat itu. Ternyata gadis berkacamata itu lebih tua dua tahun darinya. Lama-kelamaan Syifa merasa sangat dekat dengannya. Ia selalu memberi Syifa selembar bulletin yang sama seperti yang diedarkan lelaki itu. Meridian selalu datang dan membantu Syifa tanpa pernah ia minta. Ia membantu Syifa mengetik laporan kegiatan-kegiatan kampus, mencari artikel untuk bahan presentasinya, dan tentu menjadi pendengar setia Syifa saat bercerita tentang lelaki itu. Tanpa pernah Syifa sadari, Meridian telah bayak memasukkan ide dan membuat kacamata berfikir Syifa tentang hidup berubah. Syifa mulai jarang berkumpul dengan teman-teman nongkrongnya di sekretariat BEM kecuali memang ia sangat dibutuhkan. Syifa juga tak pernah lagi mengenakan celana jeans dan kaos ketatnya, sekarang ia lebih suka mengenakan rok dan blus lebar. Dan perubahan-perubahan lain tampak pada dirinya seiring dengan pemahamannya akan ajaran yang telah ia peluk sejak kecil namun tak pernah ia pahami lebih daripada sekedar perintah shalat, puasa, zakat, dan naik haji.

Lelaki itu masih sering dilihatnya melewati depan kosnya, namun Syifa hanya menarik nafas perlahan sambil berusaha menyingkirkan pandangan matanya dari arah jalan. Namun toh Syifa sering berlari tergopoh-gopoh menuju ruang depan kos karena ternyata ia tak tahan ingin melihat lelaki itu, meski pada akhirnya hanya punggungnyalah yang terlihat. Ternyata ia belum mampu menjaga matanya untuk makhluk yang satu itu. Meridian bilang itu syahwat mata.

Sudah enam bulan Meridian menjadi musyrifah Syifa, mereka rajin mendatangi tempat kos satu sama lain untuk mengkaji islam. Selama itu pula Syifa berusaha tak mengingat lelaki itu, meski sebenarnya ia tak bisa. Syifa tak mau niatnya untuk berubah menjadi lebih baik terkotori dengan rasa cintanya pada lelaki itu. Syifa tak pernah lagi datang ke lapangan kampus saat lelaki itu berolahraga, gadis itu juga tak memperhatikan jika ia berpapasan dengan lelaki itu di jalan. Sulit ternyata, tapi Syifa yakin ia bisa.

Dua minggu menjelang hari wisudanya, Meridian memintanya membantu pembuatan proposal acara outbond untuk ikhwan angkatan baru. Ia yang sudah kenyang dengan pekerjaan itu selama menjadi sekretaris BEM, segera mengetik susunan kegiatan itu dengan lancar. Gunung Gede, 24-26 Desember 2004, ia mengeja tempat dan tanggal outbond. Dan saat membaca ketua pelaksana kegiatan itu Syifa harus menelan ludah. Muhammad Zulfikar, susah payah ia mengetik nama itu. Hitungan dua belas bulan ternyata tak mengikis keindahan sosok itu dalam pandangan Syifa. Tapi ia tak mau lebur dalam perasaannya sendiri, Syifa segera mencetak lembaran proposal itu dan memberikannya pada Meridian, kakak, sahabat sekaligus guru ngajinya tercinta. Meridian tersenyum saat menerima proposal itu dari Syifa,

“Semangat! Wisuda kita sebentar lagi”, bisiknya pada Syifa.

Hari wisuda tiba. Syifa berada di tengah uraian canda sahabat-sahabatnya, mereka semua tersenyum lepas, seolah satu beban hidup telah tercabut dari pundak mereka. Namun tidak bagi Syifa, ia merasa kegamangan dan kekalutan luarbiasa menyelimuti dirinya. Wajahnya yang putih makin terlihat pucat dalam balutan jilbabnya yang berwarna biru tua. Ia tahu hari itu akan memisahkan dirinya dengan lelaki itu. Meridian menghampiri Syifa, senyumnya terkembang. Mereka berpelukan hingga airmata penuh menutupi raut muka keduanya. Satu persatu nama wisudawan dan wisudawati yang disebutkan tampil ke depan, Syifa tercekat saat lelaki itu maju. Wajahnya makin putih, tubuhnya tetap kurus dan tegap, lalu Syifa membuang pandangannya ke bawah, ke arah kakinya yang terbalut sepatu putih.

Saat acara selesai, Syifa memeluk satu persatu sahabat wanitanya. Mereka berfoto berkali-kali di sudut ruangan untuk mengabadikan momen kebersamaan untuk terakhir kali. Syifa meremas tangan Meridian dengan kuatnya saat ia melihat lelaki itu berjalan ke arahnya. Lelaki itu mengenggam seikat besar bunga gunung, yang sekarang Syifa tahu namanya bunga edelweiss, lalu membaginya menjadi dua. Ia melilitkan tali wol berwarna merah jambu pada bunga itu. Entah kenapa lelaki itu melakukannya di jarak yang terjangkau oleh pandangan Syifa dan Meridian. Ia sama sekali tak berusaha menjauh dari hadapan dua wanita itu. Setelah selesai mengikat dua bagian edelweiss, lelaki itu berjalan makin dekat ke arah Syifa dan Meridian. Tiba-tiba ia menyodorkan seikat bunga pada Syifa, sementara ikatan bunga yang lain digenggam di tangan kirinya. Syifa mengangkat wajahnya, ia menatap lelaki yang ada di hadapannya sejenak.

“Untukku…?”, tanya Syifa gemetar.

Tak ada jawaban. Lelaki itu tetap memandang ke bawah tanpa melihat Syifa sedikitpun. Akhirnya ia meraih bunga itu dengan segenap kekuatan yang berhasil dikumpulkannya. Lelaki itu langsung berbalik tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Syifa menatap punggung lelaki itu menjauh dari hadapannya, air matanya sudah tak terbendung lagi. Meridian memeluk erat Syifa.

“Kudengar Zulfikar akan pergi di Manado…”

Syifa meninggalkan ruang wisuda dengan perasaan tak menentu. Digenggamnya edelweiss yang mungkin berasal dari Gunung Gede itu. Syifa berusaha meminimalkan berbagai kemungkinan yang muncul dari hatinya tentang lelaki itu, mungkin lelaki itu ingin mengucapkan terima kasih karena Syifa membantunya membuat proposal kegiatan outbond kampus waktu itu. Meskipun Syifa tahu mata lelaki itu terlihat merah saat tadi dia berbalik meninggalkan Syifa.

*******

Syifa berjalan menyusuri trotoar, sesekali ia menoleh ke belakang menatap jalanan aspal. Edelweiss yang ia temukan di dekat sepatunya terus diremasnya. Sebenarnya ia tak mau berharap dan merasa berharap. Tapi sekarang denyut jantungnya seolah membangkitkan apa yang selama ini terkubur dalam dirinya. Tanpa terasa air matanya meleleh, entah sudah berapa lama Syifa tidak pernah melakukan hal itu. Ketawakkalannya pada Sang Illahi Rabbi membuat ia menyerahkan seluruh urusan hidup pada Sang Pencipta. Semua hal mengenai lelaki itu, Muhammad Zulfikar, telah diserahkannya pada Penggenggam Hatinya, Allah SWT. Sejak hari dimana lelaki itu berangkat ke Manado untuk berdakwah, Syifa telah mengazamkan tekadnya untuk tak lagi memikirkan itu. Hari-harinya ia lalui dengan ketaatannya yang makin menebal pada Allah. Ia simpan dengan rapi memori tentang seorang Muhammad Zulfikar di kotak hatinya, dan ia tutup rapat-rapat. Kesibukan Syifa mengkaji islam dan berdakwah membuatnya tak lagi punya kesempatan untuk merogoh apalagi membuka apa yang tersimpan di sudut hatinya itu. Namun pesan singkat dari Meridian, sahabatnya pagi ini membuat Syifa mau tak mau membuka memorinya.

“Salam. Ukhti sudah tujuh tahun sejak kita lulus kuliah, apalagi yang kau tunggu? Aku sudah punya dua orang mujahid dan seorang mujahidah dari rahimku. Usiamu sudah menginjak dua puluh Sembilan, tidakkah kau ingin menggenapkan dienmu?”

“Waalaikumsalam. Belum ada yang tepat untukku ya ukhti kabir.. Aku menyerahkan urusan ini sama seperti aku menyerahkan urusan rizki dan ajalku…”

“Karena ikhwan yang satu itukah? Apa kecintaanmu padanya telah sedemikian kuat hingga kau menolak delapan lelaki yang berusaha melamarmu?”

Syifa hanya terdiam, ia berusaha meraba hatinya lebih dalam. Kedelapan lelaki yang datang melamarnya memang ia tolak, karena seperti itulah jawaban yang diberikan oleh Allah selepas istikharahnya. Syifa bergegas membuka lemarinya, dibukanya laci paling bawah. Ia melihat kotak biru itu masih ada di sana. Dibukanya perlahan, seikat edelweiss yang diberikan oleh lelaki itu masih tersimpan di dalamnya. Kering memang, tapi entah kenapa Syifa melihat bunga itu tak ubahnya seperti edelweiss yang Zulfikar berikan tanpa kata-kata tujuh tahun lalu. Syifa beristighfar, ia sadar tak seharusnya ia memikirkan lelaki yang bukan mahramnya itu. Syifa segera memasukkan bunga itu ke dalam kotaknya, ia tak mau hanyut dalam perasaan yang tak menentu.

Sekarang Syifa masih tertunduk, kakinya melangkah terseok menuju rumah melintasi jalanan yang masih basah karena hujan. Mahkota dari edelweiss yang ada di tangannya berjatuhan sepanjang jalan, karena ia terlalu kuat meremas. Sungguh ia ingin mengelak semua ini. Untuk apa lelaki itu datang, tidakkah ia menemukan mujahidah di kota pinggiran Laut Bunaken itu? Syifa merebahkan badannya yang letih di atas kasur, hatinya terasa jauh lebih penat. Acara yang diadakannya sore tadi di Masjid Ar-Ridwan sukses, sebagian mahasiswi itu itu telah siap dibina, tapi Syifa enggan menyusun strategi dakwah seperti biasanya. Ia jatuh tertidur setelah tiga jam matanya tak bisa dipejamkan.

Syifa terbangun oleh raungan telepon genggamnya. Ia memicingkan mata sebentar, lamat-lamat terdengar suara adzan shubuh. Dibukanya pesan yang datang, ternyata dari Umi Habibah, musyrifahnya sekarang,

“Assalamualaikum. Syifa sayang, siang ini bisa datang ke rumah? Kalau bisa tolong sekalian bawa biodatamu. Seorang ikhwan yang baru datang dari Manado meminta Syifa menjadi istrinya semalam. Dia bilang Syifa mengenalnya. Bisa datang kan?”

Entah apa yang Syifa rasakan sekarang, yang jelas ia menangis deras. Tapi ia sendiri bingung, untuk perasaan yang manakah air matanya keluar ? Senang, kaget, syukur, tertegun, terharu, sedih, atau apa ? Syifa tak ingin menjawabnya. Ia biarkan dirinya larut dalam sujud dan doa di atas sajadah pagi itu…





Catatan : Teruntuk kakak-kakakku para pejuang syariah yang ada di dekatku, jangan sampai virus merah jambu yang sedang menjangkiti kita saat ini membuat langkah kita terhenti. Tetap semangat, Insya Allah sudah ada seorang mujahid yang siap menemani kita menapaki jalan dakwah yang indah ini. Bila saatnya telah tiba, ia akan datang mengetuk hati kita dengan segenap pengharapannya untuk meraih cinta tertinggi dan hakiki, kecintaan pada sesuatu yang haq, Allah Azza wa Jalla. Insya Allah, hamazah! Allohuakbar!!!

Selasa, 20 Juli 2010

'Hadiah Terselubung' By:output sistem ngaco kapitalis

Terangkai lugas oleh: _Asmar Nibras_


hore!!!hore!!! aku diberi hadiah...(loncat-laoncat kegirangan)
Tumben ia mengirimkannya...
Soale...tak biasa ia sedermawan itu!
Wah aku mulai coba mendekati hadiah itu...(dengan sedikit penasaran)

NAMUN KACAU

Huft! lagi-lagi mimpiku terusik oleh siraman air dari dunia nyata..(alias mamaku membangunkan tidurku)
Tapi..seingatku, hadiah itu diletakkan dalam suatu ruang...ruang apa ya??
Arrrghhh munculah spekulasi yang membencikan!! spekulasi yang timbul akibat mimpiku terputus...

Sesaat setelah aku terbangun dari mimpi itu tiba-tiba...
kotak ajaibku memberikan informasi..
Informasi tentang meledaknya tabung gas di rumah-rumah rakyat Negara Republik Kesatuan Indonesia

Aku tersentak! ketika melihat lokasi tempat kejadian perkara  adalah di dapur...
aku teringat dengan mimpiku semalam...
"Gubrakkk!!!" jangan-jangan hadiah yang diletakkan di dapur adalah tabung gas itu!!
Hoooooaaaaaaa.....AKU TAK SEGAN MENERIMA PEMBERIANMU...
ambil saja dan pindahkan segera ke dalam dapur di mimpimu...

Refleksi SAng Pembelajar

oleh: Asmar nibras


Jejak-jejak bersaksi..
Menghiasi sepanjang jalan nan sunyi...
Kemelut asa memenuhi ruang rahasia di kepala...
Tak perlu tanya APA?
pada akhirnya semua akan terbuka..


Hari-hari ...
Kusimak tiap iringan masalah menembus binar indah bola mata..
Kusimpulkan ia dengan sebulat solusi tanpa perlawanan..karena hanya aku yang HAK dengan tafsiranku sendiri..
dengan ilmu yang mengendap di otakku aku PERCAYA DIRI...Aku BERANI..sebab ia diberi oleh MAHA PEMILIK ILMU...yah! Rabbku..allah swt

LIHAT!!!
siapa perangkai bait-bait Egois tadi??
AKU SANG PEMBELAJAR
yang Mual dengan SOLUSI MURAHAN ALA PENJAJAH..
yang Muak dengan  PENJUAL IDEOLOGI SAMPAH...

Pecinta..Ada Apa Dengan Cintamu?

_Luapan BARA ideologis Asmar Nibras_

Kau berkata "aku mencintaimu, maka akan aku berikan semua untukmu"
Kau selalu berkata "aku SANGAT mencintaimu, maka akan kupersembahkan yang terbaik untukmu"
Aneh dengan AKAN...
Bisakah kau tak ucap kata MUNAFIK itu!!!
Aku butuh BUKTI!! aku tak butuh akan!

Kini kau goreskan perih..
cintamu ternyata tak sampai padaku duhai pecinta,,,
cintamu sebatas kata..

Pantas saja bila aku terus bergejolak ingin betanya tentang cintamu..
"ADA APA DENGAN CINTAMU?"

sepertinya cinta itu telah ternoda oleh tinta-tinta Kapitalisme..demokrasi...dan HAM

cukup ku tahu PENGHIANATANmu pada cintaku,,,

Teruntuk: Para Pecinta penghianat cintaku

Sabtu, 17 Juli 2010

G.U.L.I.T.A

~ Dirangkai oleh Semburat Jingga ~


* yang sempat tertunda *



Idul menggeram!

Deret kalimat pelajaran bahasa buntu tak mampu dicerna

Hitung-hitungan macet di satuan arus fisika

bukan tumpul pada otaknya

atau rabun pada matanya

apalagi buntung pada pensil lima sentinya

hanya saja, bilik bambunya GULITA!

Sinaran lilin bergoyang manja, tak bisa diajak sama rasa

INI....TDL naik (lagi) !!

sudah naik, mencekik, sering padam pula!

bertambah titik didih otaknya, saat konsentrasinya harus terpecah pada ringkik gaduh perutnya

Idul kembali menunduk dan MENGGERAM!!

PARODI DEMOKRASI

~ Dirangkai Oleh Semburat Jingga ~

hahaha...

entah pesediaan tawa mana lagi yang tersisa,

mataku berair, perutku mulas,

suguhan parodi tak henti bergumul dengan telinga-telinga yang pekak memerah hingga jadi tuli

mata-mata nanar menyelami, mendetail-i, merinci tiap lekuk bukti, janji hingga jengah merajai

berbusa mulut ini menyerapahi, beretorika hingga nyaris tenggelam dalam kebusukan tontonan sampah!





DEMOKRASI. Parodi spektakuler dua abad ini

Jalan pembenaran sejati para kaum yang kerdil nyali

mereka menjadi dalang drama-drama penuh ironi

Kebelakangkan saja urusan ummat, buai dengan gunung janji

Sumpal mulut-mulut kelaparan dengan poster, dengan segala yang berhias tak pasti, bermodal musik ecek-ecek dan kaos yang mirip kain pel!



Indah benar parodi ini

hingga manusia tak mampu lepas dengannya barang sehari

aborsi dikata hak asasi, pornoaksi dibilang kebebasan berekspresi

korupsi adalah perhiasan para punggawa negeri dan itu sudah tak aneh lagi

TDL naik, minta pengertian

Rakyat tercekik, apa pula urusan???



HAHAHAHAHAHA....

aku tertawa,,,

menyaksikan manusia kini sudah berpindah akalnya ke kaki!

yang haram mereka saksi sebagai santapan pagi

mereka berucap : "kami bangga dengan parodi ini"



amboiiiii....mati dunia!

saat aturan dari manusia didudukkan pada altar-altar sesembahan

mereka bersujud, menderma diri deminya hingga mati!

sementara aturan dariNYA dibungkus rapi, disimpan dalam sudut mati, tak tersentuh, bahkan adalah aib jika disentuh!





Sudah lengkaplah isakan, rintihan, hujatan, permohonan...

anak kecil meminta nasi, wanita hamil minta perlindungan, orang jompo menghiba belas kasihan

Mereka pikir mereka kan di dengar!

TIDAK!

sudah kukata, kampiun-kampiun negeri memilih penyakit tuli, rabun, dan bisu untuk urusan seperti ini.

yah, mereka girang melebur, berenang dalam parodi keji.

PARODI DEMOKRASI!!!



dariku untukmu duhai demokrasi : MATIMU ITU PASTI!!!

Selasa, 06 Juli 2010

Dear : Adik binaan

_Surat Cinta Asmar Nibras_

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh…

Dengan ini kk torehkan beberapa paragraph yang mengandung makna. Makna tentang aku dan kau. Makna yang mengisahkan sebuah simphony pergulatan melawan keadaan masa lampau dan dini hari.



Adik-adikku...

Coba terbangkan kembali pikiranmu ke masa saat pertama Allah mempertemukan kita. Pertemuan hati yang tertaut cintanya kepada Allah, dalam satu ikatan akidah Islamiyah yang kuat. Saat itu kau hempaskan senyum merona, wajah yang bersinar, dan genggaman tangan perkenalan yang hangat. Setelah itu ku balas kau dengan tatapan penuh antusias menyambut kehadiranmu dalam kehidupanku yang takkan lengkap tanpamu. Sungguh perkenalan yang begitu berkesan dengan bunga-bunga bahagia menaburi rongga-rongga hati kita.



Waktu berlari begitu cepat, tanpa peduli adakah yang tertinggal apa-apa yang sudah kita lakukan. Namun kupastikan pemikiran dan perasaanmu pasti telah terenovasi dari yang tidak sesuai dengan Islam menjadi berporos padanya. Karena awal perbincangan yang kita diskusikan telah berhasil menstimulan akalmu untuk berpikir tentang fakta yang terjadi disekitar agar terpecahkan dengan islam yang sudah kau yakini sebagai solusi. Kumulai memahami kecerdasanmu dari segala aspek. Sungguh kusadari kau telah mampu mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Ucapku Subhanallah semua karena pertolonganMu ya Rabb...



Kesadaranmu dengan keadaan saat ini membuatku kagum, Yakni kesadaran perihal KERUSAKAN GENERASI PEMUDA-PEMUDI ISLAM. Jujur! Dari kejauhan aku melihatmu meneteskan air mata kesedihan yang tak boleh kau ratapi tapi harus kau hadapi dengan ilmu yang telah kau miliki, yang sudah melekat di otak-otakmu. Akibatnya hal ini memaksamu untuk memutar otak mencari cara untuk mendonaturkan solusi. Kau belajar membuat beberapa kegiatan-kegiatan yang menjadi wadah para pemuda-pemudi untuk mengkaji Islam secara mendalam dan kaffah, kau selenggarakan diskusi studi kasus, dan lain sebagainya. LUAR BIASA!!!



Dari ini aku bisa melihat bukti bahwa kau bukan termasuk hambaNya yang individualis, cuek, dan acuh. Kau adalah bulan yang menyinari kegelapan sudut-sudut malam bumi, kau adalah embun yang menyegarkan tanaman-tanaman layu, kau adalah generasi harapan umat dan agama ini. Biarlah orang-orang disekelilingmu berkata apa! Jalanilah risalah suci ini. Karena kau adalah agent of change untuk PERADABAN HAKIKI...

KAMI TAHU!!!

kau memang lihai.


janji mu.

rayu mu.

sungguh membuai.

kau mabukkan manusia dengan candumu.

tak sedikit yang memujimu.

menyanjung mu.

mendewakan mu.

bahkan rela mati untukmu.

sungguh kami tahu kau adalah virus.

virus yang merubah tuan menjadi budak.

kami tahu kini kau sekarat.

menanti ajalmu ditangan malaikat.

kan kami iringi kematian mu dengan berjuta laknat.

untukmu yg menuhankan manusia.



_Bongkot Al-Fathi_